Sabtu, 02 Maret 2013

Arsitektur dan Perubahan Iklim, Sebuah Korelasi

Romantisme Arsitektur

Dulu –mungkin sama dengan anak yang lainnya- cita-cita saya bermetamorfosis beberap kali. Dan sebagai cita-cita yang menduduki nomor wahid, menjadi dokter adalah mimipi awal yang muncul akibat lingkungan dan dorongan orang tua. Sejalan dengan waktu, dan penyakit phobia akan makluk berseragam putih itu, cita-citaku tertambat menjadi seorang pengacara. Tontonan ibu yang doyan dengan film India dan beberapa film yang menampilkan sosok lawyer yang begitu hebat dan heroic ikut andil dalam hal ini. Namun cita-cita itupun sirna oleh pandangan seorang om, yang bersifat sinis dengan profesi lawyer, dan sebagaimana anak-anak lainnya, saya ikut mengamini. Jadilah cita-cita itu tersimpan di bawah nisan. Hingga akhirnya saya tergoda dengan profesi arsitek.

Semuanya bermula dari sebuah buku milik om yang berprofesi sebagai guru seni rupa. Boleh dikatakan om saya itu pecinta seni, dari seni rupa hingga seni bangunan –itulah istilahnya dalam menyebutkan arsitektur-. Di buku tebal itu, saya dibuat takjub oleh sebuah gambar kursi yang sangat unik menurut kaca mata saya. Dari om saya, saya tahu kalau kursi itu adalah karya dari seorang arsitek yang bernama Le Corbuiser. Awalnya, saya berpikir, seorag arsitek adalah seorang tukang, dan walaupun tidak salah, pengertian saya itu masih premature. Om sayalah yang menjelaskan tentang dunia-dunia arsitektur. Dan seperti seorang Alice di dunia Wonderlandnya, saya tiba-tiba merasa Arsitektur seperti dunia wonderland bagi saya. Saat itu juga saya memutuskan ingin menjadi seorang arsitek. Sekian lama tersimpan dalam hati, saat jelang tutup SMA, saya mengutarakan niat saya mendalami Arsitektur, dan bapak yang awalnya menolak menyarankan mengambil Teknik Sipil jika ingin mendalami teknik. Namun kekerasan kepala saya sudah sangat terkenal sejak kecil. Saya keukeuh seperti karang, namun sayapun diam mematung tak dapat menjawab pertaanyaan sederhananya, mengapa memilih arsitektur? Untuk menggambar bangunan, seorang biasa tanpa latar belakang arsitektur pun mampu melakukannya. Apa kelebihannya? Pertanyaan itu terngiang-ngiang sekian lama di ruang telinga saya menunggu jawab.

Retrospeksi

Mungkin kalian bertanya, apa korelasi romantisme kisah awal cita-citaku dengan judul di atas? Secara langsung memang bisa dianggap kisah di atas hanyalah appetizer. Namun secara tidak langsung ada korelasi di antaranya.

Pertanyaan bapak, bukannya saya lupakan. Tidak. Sama sekali tidak. Saya akhirnya menemukan benang merahnya, saat seorang professor - dulunya seorang arsitek,sekarang menekuni masalah urban dan transportasi- memberi kuliah. Dia membuka pemahaman saya akan arsitektur, kalau seorang arsitek yang membedakannya dengan juru gambar adalah system berpikirnya. Arsitek bukan hanya mendesain lingkungan buatan  (built environment) yang berpegang pada estetika, dan lua, fungsi dan pola hubungan ruang saja. Tapi bagaimana mengkomunikasikan dan memadukan built environment dan natural environment. Memadukan lingkungan buatan dengan alam. Saya sepakat dengan itu. Dan saat itulah saya merasa mampu menginterpretasikan apa yang terjadi selama ini dalam arsitektur. Saya merasa akhirnya menemukan satu puzzle yang hilang, dan kini pemahaman saya akan arsitektur menjadi puzzle yang lengkap.

Gajah mati meninggaalkan gading, penulis mati meninggalkan buku, arsitek mati meninggalkan bangunan. Menjadi diingat dan dikenal adalah alasan kebanyakan dari kami waktu ditanya saat mahasiswa baru alasan memilih arsitektur. Tidaka ada yang salah. Sah dan wajar saja. Bukankah sebuah kebanggaan, jika seorang owner atau pelanggan meminta kita merancangkan rumahnya di atas tanah berukuran 8 x 10 Meter dengan konsep minimalis meniru konsep rumah di drama korea Full House? Orang-orang yang lalu lalang di depan rumah akan berdecak kagum, bertanya kepada siempunya rumah, siapakah arsiteknya.  Iya, memang sebuah kebanggaan, namun apakah si arsiteknya memahami, akibat ulahnya itu, menyebabkan bertambah lagi penyebab kacaunya iklim yang terjadi? Mungkin di sini kalian akan mengernyutkan kening. Yang menjadi arsitek mungkin akan marah. Tapi, mari kita tarik nafas dulu, karena pandangan  saya, bukanlah sembarang pandangan. Ada korelasi yang kuat dari sebuah karya arsitektur dengan perubahan iklim yang terjadi yang memicu anomaly iklim yang ektrim akhir-akhir ini.

Climate Change

Climate change atau perubahan iklim bukanlah kata-kata baru beberapa tahun belakangan ini. Kata ini cukup popular, dan sering disandingkan dengan kata GRK (gas rumah kaca atau GHG green houses gases), global warming, intruisi air laut, anomaly cuaca, hingga gelombang la nina dan el nino. Bahkan Prof Susan Roaf  dalam buku terbarunya Adapting Buildings and Cities for Climate Change, mengutip pernyataan Sir David King, Kepala Penasihat Perdana Menteri Inggris bidang Sains yang mengatakan bahwa Climate change is now a greater threat to humanity than terrorism. Perubahan iklim (akibat pemanasan Bumi) jauh lebih berbahaya daripada terorisme. Sebuah analogi yang cukup menggambarkan posisi penting frase ini. Karena itu secara kronologis, lembaga-lembaga global seperti PBB, IPCC hingga Oxfam bergeliat bereaksi dalam isu ini. IPCC adalah Intergovernmental on Climate Change sedangkan Oxfam adalah konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan. Menghadapi isu ini pun sebuah resolusi Kyoto terbit. Bahkan saking seksinya, masalah climate change menjadi prioritas untuk beasiswa-beasiswa favorit ke luar negeri. Lalu apa sebenarnya climate change itu? Mengapa frase itu menjadi begitu disorotnya.



Menurut United Nations Framework Convention on Climate Change, Perubahan iklim menunjuk pada adanya perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh kegiatan manusia yang mengubah  komposisi atmosfer global dan juga terhadap variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu tertentu. Jadi, secara struktur, lapisan bumi diselimuti oleh lapisan yang disebut GHG (green houses gases atau yang biasa disebut GRK). Selubung GRK ini secara alami ada di bagian atmosfer, dan memiliki fungsi vital terhadap pola iklim di bumi. Secara alami pun GRK ini berfungsi menghalangi pantulan sinar matahari di bumi dalam bentuk gelombang inframerah untuk kembali ke angkasa, dan terperangkap di lapisan atmosfer. Akibat aktifitas manusia dalam hal ini penggunaan emisi GRK (bahan bakar fosil), terlebih sejak dimulainya revolusi industry (Konsentrasi CO2 meningkat 25 persen setelah Revolusi Industri). Data pusat pemantauan cuaca Amerika di Mauna Loa, Hawaii, memperlihatkan kenaikan CO2 18 persen dari tahun 1958 hingga 2002 dan menaikkan suhu dari 0,5 hingga 2 derajat Celsius), selubung GRK mengalami penebalan yang cukup signifikan. Hal inilah yang memicu pemanasan global (global warming) dan berafiliasi negative pada perubahan pola iklim bumi. Bukti nyatanya dapat kita lihat sekarang, terjadi kekacauan iklim, meningkatnya permukaan air laut akibat mencairnya beberapa gletser di antartika, intruisi air laut, banjir, taufan siklon hingga gelombang besar, terrjadinya penyebaran penyakit yang tidak dapat diprediksi sebelumnya, deforestasi dan hujan asam hingga kekeringan. Dan semua itu  membahayakan kehidupan di bumi. Jadi, sangat wajar jika kemudia isu ini menjadi prioritas dan seksi di semua lini ilmu pengetahuan.

Arsitektur dan Energy

Gambar. Proyeksi emisi CO2 di Indonesia berdasrakan beberapa faktor

           Gambar. Perkiraan Penggunaan Energi dalam rentang 2005-2030                                                                         Sumber: Global Insight, RISI, WMM, PLN, IEA: Indonesia GHG Abatement Cost Curve

Gambar  pertama di atas adalah proyeksi emisi CO2 berdasarkan beberapa sector di Indonesia. Dan ternyata table di atas memperlihatkan kecendrungan peningkatan emisi CO2 pada barang-barang  elektrikal, industry dan transportasi di masa datang. Sedangkan gambar kedua memperlihatkan perkiraan penggunaan energi  yang  terus meningkat dalam skala nasional.  Sejalan dengan itu berdasarkan data dari IPCC, Fourth Assessment Report on Climate Change 2007, menunjukkan bahwa saat ini bangunan gedung menggunakan 40%  dari total energi global,  12 % dari total persediaan air bersih, dan menghasilkan 40% dari total emisi GRK, Sehingga diprediksi untuk tahun 2030 nanti, sekitar 1/3 dari total emisi CO2 berasal dari bangunan gedung, dan penyumbang terbesar adalah negara-negara berkembang dari Asia.

Emisi GRK terdiri atas beberapa unsur, dan secara umum sumber-sumber dari emisi GRK ini bersumber dari bahan bakar fosil. Sumber-sumber itu terdiri atas CO2 (yang merupakan emisi GRK terbesar dan bersumber dari  proses pembakaran energy  fosil menjadi listrik), CH4 (emisi kotoran hewan), CFC, N2O, PFCs dan HFCs. Jika sumber ini dikomparasikan dengan data di atas, dapat dilihat efek domino yang ditimbulkan dari sebuah gedung jika dirancang tidak mengindahkan lingkungan. Sebagai contoh, dalam desain sebuah bangunan, karena alasan suhu udara ekstrem saat musim dingin, negara maju menggunakan energi untuk pemanas ruang. Namun di sisi lain. Di Jakarta misalnya, dengan suhu udara tidak ekstrem, masih berada di sekitar ambang kenyamanan, lebih dari 90 persen bangunan kantor di Jakarta bergantung pada AC yang konsumtif terhadap energi dan melepaskan jutaan ton CO2. Terlalu banyak energi dibuang untuk pendingin ruangan yang semestinya tidak perlu jika arsitek menguasai perancangan bangunan hemat energi sesuai dengan iklim setempat. Di Indonesia, sebagai Negara tropis kaya akan sinar matahari, air dan angin. Adalah sebuah kegagalan dalam desain, jika seorang arsitek merancang sebuah bangunan yang dalam system pencahayaannya tidak mampu memaksimalkan pencahayaan alami, begitu pun memaksimalkan penghawaan alami lewat cross ventilation. Faktanya, banyak bangunan mulai dari rumah hingga bangunan komersial menggunakan pencahayaan buatan padahal matahari bersinar dengan terangnya. Hal ini saja, cukup memicu tingginya konsumsi energy listrik di sector bangunan.

Arsitektur dan Lingkungan

Kecendrungan mengikuti trend terkadang menajadi simalakama bagi arsitektur. Bagi sang arsitek dibutuhkan pemahaman yang komprehensif dalam menjelaskan kepada owner tentang sebuah konsep. Seperti kecendrungan beberapa tahun belakang ini akan konsep minimalis, bukanlah hal yang haram untuk dilakukan. Hanya saja, butuh adaptasi konsep itu dengan iklim tropis, karena konsep itu lahir di daerah beriklim empat musim. Penggunaan fasade kaca, selain sebagai unsur estetika, dari segi fungsi, diadakan untuk memanaskan bangunan mereka. Sebaliknya jika di bawa ke Indonesia, harus disesuaikan dengan kondisi yang ada.

Pada dasarnya, menggunakan material local dan konsep arsitektur vernacular (tradisional) secara historis telah terbukti survive di iklim tropis dan kini terbukti sangat pro terhadap lingkungan, sehingga adalah keniscayaan jika mampu menerapkan konsep itu. Namun, sekali lagi mengadopsi konsep lain, tetap dapat dilakukan sepanjang  disesuaiakan  dengan iklim yang ada.

Dalam masalah RTH  atau  Koefisien Dasar Bangunan/Building Coverage Ratio (KDB/BCR) dan Koefisien Dasar Hijau (KDH) yang seharusnya bcrkisar 40-70% ruang terbangun berbanding 30-60% untuk ruang terbuka yang bisa dimanfaatkan ruang hijau untuk bernafas dan menyerap air kini sudah mulai ditinggalkan. Fenomena membangun 100% lahan tanah tanpa menyisahkan sedikit pun ruang untuk tanah bernafas dan bercengkrama dengan air banyak kita saksikan. Jikapun terdapat pekarangan, pekarangan yang ada, jika bukan dibeton maka dilapisi keramik. Jadinya saat siang si empunya rumah akan merasa kepanasan, karena panas matahri dipantulkan oleh tutupan di tanah, beda halnya jika tanah tetap dibiarkan terbuka atau ditutupi dengan kerikil/koral atau rumput, niscaya cahaya matahari yang jatuh sebagaian akan diserap ke bumi, sebagian lagi akan dipantulkan dan suhunya akan tereduksi oleh rumput yang ada. Keberadaan RTH (baik itu dalam skala local rumah hingga skala kota) bukan hanya karena aturan, tapi juga menyangkut masalah keberlangsungan air dan siklus hidrology, dan lebih global, keberlangsungan hidup di bumi.

Perubahan iklim yang terjadi telah menyebabkan  mencairnya gletser di Greenland dan Antartika akibat pemanasan global. Dampaknya, permukaan air laut menjadi naik, yang menyebabkan terjadinya intruisi air laut. Secara teknis masalah ini dapat menjadi anacaman serius bagi bangunan juga manusia. Saat kurangnya bukaan pada suatu tempat, hal itu makin memperparah keadaan dari air tanah yang merupakan pengisi tanah. Adanya tutupan yang bersifat massif di tanah (beton, semen plesteran hingga keramik) menghalangi kembalinya air hujan ke tanah sesuai siklus hidrologinya, dan lagi-lagi, pemahaman menyeluruh dan mendalam seorang arsitek menjadi taruhannya. Dalam hal ini, mengapa membangun tanpa memperhatikan RTH. Mengapa mendesain tanpa memperhatikan lingkungan?

Green Arsitektur, Sebuah Adaptasi dalam Ranah arsitektur akan Mitigasi Perubahan Iklim

Gambar. Salah satu rumah hemat energi karya Yu Sing


Geliat go green yang kini marak didengungkan juga menghampiri dunia arsitektur. Sebuah genre yang merupakan jawaban arsitektur akan kepeduliannya terhadap lingkungan bermunculan. Dari green architecture, eco architecture, hingga dalam skala kecil beruapa rumah hemat energy. Semuanya bermuara dari permasalahan yang sama, kepedulian akan lingkungan dan nasib bumi.

Pada dasarnya ada dua hal yang dapat dilakukan manusia menghadapi perubahan iklim. Yang pertama adalah adaptasi terhadap perubahan iklim, yaitu bagaimana manusia menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim yang terjadi. Yang kedua adalah mitigasi perubahan iklim, yaitu dengan cara pengurangan emisi penyebab perubahan iklim, dalam hal ini menstabilkan GRK yang berada di lapisan atmosfer. Untuk itu, salah satu bentuk konsep yang dikembangkan arsitektur adalah konsep yang pro lingkungan.

Gambar. Proses reduksi panas ke bangunan lewat penerapan konsep green architecture

Green architecture adalah praktek mendisain, konstruksi dan pengoperasian bangunan berdasarkan prinsip ekologi dan penggunaan material yang efisien. Konsep ini difokuskan pada promosi dan praktek dari pengembangan site yang berkelanjutan, penggunaan energy dan air yang efisien, pengembangan kualitas dalam ruangan (pencahayaan dan penghawaan), dan penggunaan material yang pro lingkungan dan berkelanjutan.

Gambar. Rumah menggunakan solar sel

Gambar. Aplikasi green roof

Aplikasi roof garden
                      Sumber:Green Roof Specifications and Standards


Gambar. Green Wall
Sumber:Dictionary Of Eco Design (Ken Yeang &Lilian Woo)

Dalam tataran aplikasi, konsep ini menggunakan clean technology (teknologi ramah lingkungan) berupa penerapan sel surya pada selubung bangunan (atap, dinding, kolom), sebagai media sumber energy surya (energy terbarukan yang menggantikan energy fosil). Kendalanya terletak pada mahalnya panel sel surya ini, sehingga dalam aplikasinya akan sangat terbatas. Konsep ini juga menggunakan rekayasa bentuk, massa bangunan, tapak dan denah dalam memaksimalkan pengkondisian udara dalam ruangan yang nyaman dengan pencahayaan alami (yang digunakan adalah cahaya pantulan guna mengurangi panasnya), dan ventilasi silang (penghawaan alami). Selain itu dalam tataran material, digunakan material local yang pro lingkungan dan berkelanjutan. Untuk memaksimalkan penghawaan dalam ruangan, pengaturan tapak dilakukan, juga aplikasi dari green roof  (sistem atap yang permukaannya ditutupi  oleh rumput atau jenis vegetasi lainnya. fungsinya untuk konservasi energi) dan roof garden (sistem atap yang digunakan sbg taman di atap, bedanya tanamannya menggunakan wadah seperti pot, juga  dpt dilengkapi dgn fasiliatas taman lainnya (gazebo, air mancur))serta green wall (aplikasi  vegetasi secara horizontal pada selubung bangunan /dinding, media tanaman yang digunakan adalah tanaman hidroponik. fungsinya untuk  konservasi energi juga pereduksi suara).


Akhirnya

Menjadi arsitek sama halnya dengan profesi lainnya, adalah pilihan. Begitu pun  menjadi arsitek yang peduli akan lingkungan, atau hanya mengejar kepentingan karya dan nilai tanpa peduli akan lingkungan.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar