Rabu, 20 Februari 2013

Eco House ; Bentuk Manifesto Arsitektur Sadar Lingkungan



Pasca Konferensi Kyoto di jepang kemarin, permasalahan lingkungan kembali menguap. Kepedulian kita kembali diminta dalam rangka menjaga eksistensi bumi atau kata tepatnya bagaimana upaya kita dalam menyelamatkan bumi, dari beberapa masalah yang ada baik itu mulai dari masalah pemanasan global yang terjadi hingga krisis bahan bakar minyak (amdal dan penghematan energi) yang terjadi akibat sikap manusia yang dari hari ke hari lebih bersifat konsumtif dan manja. 

 
            Secara macro ada dua hal yang mempengaruhi arus kehidupan manusia, yaitu alam dan teknik.Kecendrungan yang ada sekarang manusia lebih condong ke teknik yang memang bermetmorfosis karena adanya kekurangan yang terjadi, tetapi perkembangan tenik dalam hal ini teknologi tentunya akan berimbas ke alam itu sendiri, baik yang bersifat biologis, ekologis hingga phisikologis.
            Arsitektur merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari bukan hanya tentang ilmu bangunan tapi juga secara luas mempelajari keterkaitannya dengan manusia, dan lingkungannya. Maka sangatlah wajar jika para arsitek mulai memikirkan bagaimana merencanakan,merancang,membangun hingga meredesign sesuatu yang ramah pada lingkungan. Arsitektur yang ramah lingkungan atau yang kita sebut eco arsitektur di sini menurut  Heinz Frick adalah dimensi ekologis dalam arsitektur yang penuh perhatian kepada lingkungan alam dan sumber alam yang terbatas.Kata eco merujuk kepada kata ekologi yang merupakan ilmu interaksi antara segala jenis makhluk hidup dan lingkungannya.
            Dalam dunia arsitektur permasalahan lingkungan ini sebenarnya sudah banyak dilirik oleh beberapa arsitek. Beberapa solusipun telah direalisasikan baik itu dengan disain  bangunan pintar, bangunan yang memanfaatkan prinsip solar passive dan active energy (British pavilion yang dirancang Nicho­las Grimshaw & Partner, dibangun di kompleks Expo 1992 di kota Seville, Spanyol), bangunan dengan design geomansif, dan eco house. Pada dasarnya selain system bangunan pintar ketiga yang lainnya memiliki persamaan yang erat yaitu bagaiamana memanfaatkan alam sekitar dengan sebaik-baiknya dan bertujuan untuk menjaga alam. 
            Eco house merupakan turunan dari eco-arsitektur. Secara prinsip konsep perencanaan,perancangannya pun sama dengan eco-arsitektur hanya saja permasalahannya lebih spesifik ke masalah house/rumah.Secara umum eco house tidak memberikan dan mengikat dengan standarisasi yang baku tentang apa yang seharusnya dilakukan dalam merencanakan dan merancang eco-house ini, karena tidak ada sifat khas yang mengikat. Yang ada pola ini mencakup bagaimana menyelaraskan manusia dan lingkungan alamnya, jadi secara tidak langsung berarti bagaimana menyelaraskan manusia dengan alam, sosiol-kultural, ruang serta teknik bangunan. Jadi konsep eco-house ini bukan sekadar bangunan yang tampak alami atau natural, tetapi lebih dari itu, bahwa semua proses kegiatan yang terjadi di dalamnya haruslah ecologically friendly. Bukan berarti rumah harus antiteknologi, tetapi gunakan teknologi seperlunya saja dan pilih teknologi yang tepat serta tidak merusak lingkungan.
            Aplikasi eco-house ini untuk di Indonesia pernah diterapkan pada proyek eco-house (rumah ramah lingkungan) senilai hampir 50 juta yen atau sekitar Rp 3,1 miliar yang dibangun Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya di atas lahan seluas 2.000 m2 , sebagai salah satu rumah contoh yang dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah rumah yang ramah lingkungan. Proyek rumah ramah lingkungan merupakan  hibah murni Infrastructure Development Institute (IDI) Jepang kepada ITS . Rumah ini  terdiri dari tiga lantai dengan lantai dasar berupa kolong seperti pada rumah adat.Kemudian, di tiap lantai ada kamar tidur lengkap dengan kebutuhan hunian harian. Di lantai dua terletak ruang Pusat Informasi Lingkungan Surabaya yang akan dikelola bersama antara peneliti KMS dan ITS. Di lantai dasar dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk menggelar hasil karyanya maupun melakukan pertemuan informal tentang lingkungan. Rancangan rumah ramah lingkungan inipun dibuat sedemikian rupa sehingga ada aliran udara dan sinar yang masuk merata dengan cara meletakkan cerobong udara (air stack) yang menghisap udara panas keluar dari gedung dan menggantinya dengan udara dingin . Untuk penghematan energinya rumah ini menggunakan energi surya sebagai sumber energinya.
            Sedangkan untuk di luar negeri konsep eco-house sudah lama dipublikasikan (tahun 80-an), salah satu pioneernya adalah Pearson dengan konsep rumah gaia-nya. Rumah gaia adalah sebutan lain untuk eco-house. Gaia sendiri adalah sebutan masyarakat Yunani untuk dewi bumi. Konsepnya adalah bekerja sama dengan alam dan secara aktif mengusahakan terjadinya keseimbangan antara kesehatan, keutuhan alam dan spirit hidup. Sebenarnya, Pearson bukanlah yang pertama membawa nama Gaia, sebelumnya James Lovelock pernah mengemukakan filosofi ini. Namun, Pearson-lah yang merealisasikan secara langsung dalam proses rancang bangun. Pearson memfokuskan konsep Gaia pada bangunan yang berfungsi sebagai rumah tinggal, tempat di mana secara umum manusia menghabiskan sebagian besar waktunya, tempat di mana semestinya setiap penghuni mendapatkan kenyamanan dan kesehatan secara menyeluruh jiwa dan raga.
Bersama beberapa orang rekan, Pearson mendirikan "Gaia Internasional", tempat bernaung para Eco-architects dalam penyelenggaraan event-event arsitektur. Sementara itu, dia juga terlibat langsung menangani proyek rancang bangun melalui "Gaia Environment", di mana dia menjadi Managing Director.
Dalam beberapa bukunya, di antaranya yang secara eksplisit memuat tentang konsep Gaia, yakni The New Natural House Book, terungkap bahwa Gaia yang abstrak menjadi lebih mudah dipahami melalui Gaia house charter. Di dalamnya dijabarkan secara detail penerapan tiga faktor utama yang saling overlapping dan akhirnya membentuk Gaia. Tiga hal itu adalah :
1. Konsep merancang untuk menghasilkan keselarasan dengan planet kita. Dalam konsep ini sangat dianjurkan untuk memilih site dan orientasi bangunan yang memungkinkan pemanfaatan potensi alam seperti angin, air dan sinar matahari semaksimal mungkin, sehingga mengurangi pemakaian sumber-sumber buatan. Selanjutnya adalah memanfaatkan vegetasi lokal yang mudah tumbuh, tahan terhadap cuaca dan mudah dipelihara untuk menciptakan keteduhan dan keindahan, meski mungkin tampilan estetisnya kalah bila dibandingkan tanaman nonlokal.
Dua hal berikutnya yang sangat penting adalah, semaksimal mungkin gunakan material bangunan yang tidak bersifat polutif atau beracun, dapat diperbarui, dapat didaur ulang dengan efek negatif ke lingkungan sekecil mungkin.Dan salah satu solusi yang ditawarkan adalah dengan menggunakan bahan-bahan yang bersumber dari lingkungan sekitar (lokal), seperti sabut kelapa untuk bahan isolasi penahan panas pada bagian bawah atap sebagai bahan pengganti glass wool, kayu kelapa untuk penyekat dinding, karung goni, dan lainnya.Sirap atau anyaman bambu untuk bagian atapnya, karena dianggap keberadaanya bahan itu di lokasi tersebut berarti kecocokannya dengan alam tersebut. Juga, jangan sampai membuang sisa aktivitas langsung ke lingkungan sekitar, misalnya air buangan, setidaknya diproses dulu secara sederhana sebelum diresapkan ke tanah atau dibuang ke riol kota. Terakhir, usahakan untuk memanfaatkan kembali air hujan dan air bekas cuci untuk kegiatan lain yang memungkinkan.
2. Konsep desain yang menciptakan kedamaian jiwa untuk menumbuhkan spirit atau semangat hidup. Dalam konsep ini dijabarkan beberapa langkah untuk mencapai kedamaian jiwa. Desain bangunan yang menyatu dengan alam dan komunitas sekitar, melalui pemilihan gaya atau tampilan bangunan, skala bangunan dan material bangunan yang selaras dengan gaya, skala dan material bangunan dan alam sekitarnya. Pemilihan warna-warna dan tekstur bangunan dari bahan-bahan yang alami serta pemilihan site dan orientasi bangunan yang tepat akan memperkuat konsep ini.
3.Konsep desain demi kesehatan fisik penghuni. Dalam konsep ini tertuang pokok-pokok pikiran bahwa sebuah rumah harus mampu "bernapas" secara alami, membiarkan alam mengatur dengan sendirinya suhu, kelembaban, aliran dan kualitas udara. Bila sekiranya pasokan alam tidak mampu memenuhi kebutuhan, tempuh desain buatan sealamiah mungkin untuk meningkatkan performansinya, seperti penambahan vegetasi dan pemilihan bahan bangunan tertentu. Gunakan desain yang membuat sinar matahari cukup masuk ke dalam rumah. Usahakan membangun rumah jauh dari radiasi elektromagnetik yang berasal dari lingkungan sekitar dan kurangi pemakaian peralatan elektronik di dalam rumah. Bebaskan rumah dari kebisingan, baik yang muncul di luar maupun dari dalam rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar