Pasca Konferensi
Kyoto di jepang kemarin, permasalahan lingkungan kembali menguap. Kepedulian
kita kembali diminta dalam rangka menjaga eksistensi bumi atau kata tepatnya
bagaimana upaya kita dalam menyelamatkan bumi, dari beberapa masalah yang ada
baik itu mulai dari masalah pemanasan global yang terjadi hingga krisis bahan
bakar minyak (amdal dan penghematan energi) yang terjadi akibat sikap manusia
yang dari hari ke hari lebih bersifat konsumtif dan manja.
Secara macro ada dua hal yang
mempengaruhi arus kehidupan manusia, yaitu alam dan teknik.Kecendrungan yang
ada sekarang manusia lebih condong ke teknik yang memang bermetmorfosis karena
adanya kekurangan yang terjadi, tetapi perkembangan tenik dalam hal ini teknologi
tentunya akan berimbas ke alam itu sendiri, baik yang bersifat biologis,
ekologis hingga phisikologis.
Arsitektur merupakan salah satu
cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari bukan hanya tentang ilmu bangunan tapi
juga secara luas mempelajari keterkaitannya dengan manusia, dan lingkungannya.
Maka sangatlah wajar jika para arsitek mulai memikirkan bagaimana
merencanakan,merancang,membangun hingga meredesign sesuatu yang ramah pada
lingkungan. Arsitektur yang ramah lingkungan atau yang kita sebut eco
arsitektur di sini menurut Heinz Frick
adalah dimensi ekologis dalam arsitektur yang penuh perhatian kepada lingkungan
alam dan sumber alam yang terbatas.Kata eco merujuk kepada kata ekologi yang merupakan
ilmu interaksi antara segala jenis makhluk hidup dan lingkungannya.
Dalam dunia arsitektur permasalahan
lingkungan ini sebenarnya sudah banyak dilirik oleh beberapa arsitek. Beberapa
solusipun telah direalisasikan baik itu dengan disain bangunan pintar, bangunan yang memanfaatkan
prinsip solar passive dan active energy (British
pavilion yang dirancang Nicholas Grimshaw & Partner, dibangun di kompleks
Expo 1992 di kota Seville, Spanyol), bangunan dengan design geomansif, dan eco
house. Pada dasarnya selain system bangunan pintar ketiga yang lainnya memiliki
persamaan yang erat yaitu bagaiamana memanfaatkan alam sekitar dengan
sebaik-baiknya dan bertujuan untuk menjaga alam.
Eco house merupakan turunan dari
eco-arsitektur. Secara prinsip konsep perencanaan,perancangannya pun sama dengan
eco-arsitektur hanya saja permasalahannya lebih spesifik ke masalah
house/rumah.Secara umum eco house tidak memberikan dan mengikat dengan
standarisasi yang baku
tentang apa yang seharusnya dilakukan dalam merencanakan dan merancang
eco-house ini, karena tidak ada sifat khas yang mengikat. Yang ada pola ini
mencakup bagaimana menyelaraskan manusia dan lingkungan alamnya, jadi secara
tidak langsung berarti bagaimana menyelaraskan manusia dengan alam,
sosiol-kultural, ruang serta teknik bangunan. Jadi konsep eco-house ini bukan
sekadar bangunan yang tampak alami atau natural, tetapi lebih dari itu, bahwa
semua proses kegiatan yang terjadi di dalamnya haruslah ecologically friendly.
Bukan berarti rumah harus antiteknologi, tetapi gunakan teknologi seperlunya
saja dan pilih teknologi yang tepat serta tidak merusak lingkungan.
Aplikasi eco-house ini untuk di
Indonesia pernah diterapkan pada proyek eco-house (rumah ramah lingkungan)
senilai hampir 50 juta yen atau sekitar Rp 3,1 miliar yang dibangun Institut Teknologi
Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya di atas lahan seluas 2.000 m2 , sebagai salah
satu rumah contoh yang dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah rumah
yang ramah lingkungan. Proyek rumah ramah lingkungan merupakan hibah murni Infrastructure Development
Institute (IDI) Jepang kepada ITS . Rumah ini
terdiri dari tiga lantai dengan lantai dasar berupa kolong seperti pada
rumah adat.Kemudian, di tiap lantai ada kamar tidur lengkap dengan kebutuhan
hunian harian. Di lantai dua terletak ruang Pusat Informasi Lingkungan Surabaya
yang akan dikelola bersama antara peneliti KMS dan ITS. Di lantai dasar dapat
dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk menggelar hasil karyanya maupun melakukan
pertemuan informal tentang lingkungan. Rancangan rumah ramah lingkungan inipun dibuat
sedemikian rupa sehingga ada aliran udara dan sinar yang masuk merata dengan
cara meletakkan cerobong udara (air stack) yang menghisap udara panas keluar
dari gedung dan menggantinya dengan udara dingin . Untuk penghematan energinya
rumah ini menggunakan energi surya sebagai sumber energinya.
Sedangkan untuk di luar negeri
konsep eco-house sudah lama dipublikasikan (tahun 80-an), salah satu pioneernya
adalah Pearson dengan konsep rumah gaia-nya. Rumah gaia adalah sebutan lain
untuk eco-house. Gaia sendiri adalah sebutan masyarakat Yunani untuk dewi bumi.
Konsepnya adalah bekerja sama dengan alam dan secara aktif mengusahakan
terjadinya keseimbangan antara kesehatan, keutuhan alam dan spirit hidup.
Sebenarnya, Pearson bukanlah yang pertama membawa nama Gaia, sebelumnya James
Lovelock pernah mengemukakan filosofi ini. Namun, Pearson-lah yang
merealisasikan secara langsung dalam proses rancang bangun. Pearson memfokuskan
konsep Gaia pada bangunan yang berfungsi sebagai rumah tinggal, tempat di mana
secara umum manusia menghabiskan sebagian besar waktunya, tempat di mana
semestinya setiap penghuni mendapatkan kenyamanan dan kesehatan secara
menyeluruh jiwa dan raga.
Bersama beberapa orang rekan, Pearson mendirikan "Gaia
Internasional", tempat bernaung para Eco-architects dalam penyelenggaraan
event-event arsitektur. Sementara itu, dia juga terlibat langsung menangani
proyek rancang bangun melalui "Gaia Environment", di mana dia menjadi
Managing Director.
Dalam beberapa bukunya, di antaranya yang secara eksplisit memuat
tentang konsep Gaia, yakni The New
Natural House Book, terungkap bahwa Gaia yang abstrak menjadi lebih mudah
dipahami melalui Gaia house charter. Di dalamnya dijabarkan secara detail
penerapan tiga faktor utama yang saling overlapping dan akhirnya membentuk
Gaia. Tiga hal itu adalah :
1. Konsep merancang untuk menghasilkan keselarasan
dengan planet kita. Dalam konsep ini sangat dianjurkan untuk memilih site dan
orientasi bangunan yang memungkinkan pemanfaatan potensi alam seperti angin,
air dan sinar matahari semaksimal mungkin, sehingga mengurangi pemakaian
sumber-sumber buatan. Selanjutnya adalah memanfaatkan vegetasi lokal yang mudah
tumbuh, tahan terhadap cuaca dan mudah dipelihara untuk menciptakan keteduhan
dan keindahan, meski mungkin tampilan estetisnya kalah bila dibandingkan
tanaman nonlokal.
Dua hal berikutnya yang sangat penting adalah, semaksimal mungkin
gunakan material bangunan yang tidak bersifat polutif atau beracun, dapat
diperbarui, dapat didaur ulang dengan efek negatif ke lingkungan sekecil
mungkin.Dan salah satu solusi yang ditawarkan adalah dengan menggunakan
bahan-bahan yang bersumber dari lingkungan sekitar (lokal), seperti sabut
kelapa untuk bahan isolasi penahan panas pada bagian bawah atap sebagai bahan
pengganti glass wool, kayu kelapa untuk penyekat dinding, karung goni, dan
lainnya.Sirap atau anyaman bambu untuk bagian atapnya, karena dianggap
keberadaanya bahan itu di lokasi tersebut berarti kecocokannya dengan alam
tersebut. Juga, jangan sampai membuang sisa aktivitas langsung ke lingkungan
sekitar, misalnya air buangan, setidaknya diproses dulu secara sederhana
sebelum diresapkan ke tanah atau dibuang ke riol kota. Terakhir, usahakan untuk memanfaatkan
kembali air hujan dan air bekas cuci untuk kegiatan lain yang memungkinkan.
2. Konsep desain yang menciptakan kedamaian jiwa
untuk menumbuhkan spirit atau semangat hidup. Dalam konsep ini dijabarkan
beberapa langkah untuk mencapai kedamaian jiwa. Desain bangunan yang menyatu
dengan alam dan komunitas sekitar, melalui pemilihan gaya atau tampilan bangunan, skala bangunan
dan material bangunan yang selaras dengan gaya,
skala dan material bangunan dan alam sekitarnya. Pemilihan warna-warna dan
tekstur bangunan dari bahan-bahan yang alami serta pemilihan site dan orientasi
bangunan yang tepat akan memperkuat konsep ini.
3.Konsep desain demi kesehatan fisik penghuni. Dalam
konsep ini tertuang pokok-pokok pikiran bahwa sebuah rumah harus mampu
"bernapas" secara alami, membiarkan alam mengatur dengan sendirinya
suhu, kelembaban, aliran dan kualitas udara. Bila sekiranya pasokan alam tidak
mampu memenuhi kebutuhan, tempuh desain buatan sealamiah mungkin untuk
meningkatkan performansinya, seperti penambahan vegetasi dan pemilihan bahan
bangunan tertentu. Gunakan desain yang membuat sinar matahari cukup masuk ke
dalam rumah. Usahakan membangun rumah jauh dari radiasi elektromagnetik yang
berasal dari lingkungan sekitar dan kurangi pemakaian peralatan elektronik di
dalam rumah. Bebaskan rumah dari kebisingan, baik yang muncul di luar maupun
dari dalam rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar