Senin, 01 Oktober 2012

Ada apa dengan Puang?

Ada kebanggaan tersendiri tentunya menyandang nama sebagai pemuda-pemudi Bugis ataukah Makassar. Entah sudah berapa ratus kali saya mendengar kekaguman kawan-kawan lintas suku akan keberanian kita (Bugis-Makassar) dalam menaklukkan laut, hingga preman jalanan sekalipun. Dan janganlah heran, jikalau di tiap pulau di seantero Nusantara ini bahkan di bumi tua ini terdapat kampung orang-orang yg menjunjung tinggi siri ini. Tapi apakah yg dapat dibanggakan ? Apakah sikap rewa itu ? Ataukah org-org besar semacam Lamadukelleng hingga syekh yusuf yg namanya mewangi senatero negeri hingga beberapa negara tetangga ?

Di balik kebanggaan itu ada rasa kecewa yg dalam. Menengok lebih dalam ke komunitas masyarakat kita yg ternyata masih bersifat fasis bukanlah hal yg patut dibanggakan. Saya ingat di usia belia dulu (waktu masih cadel alias cocco’lilla) saya pernah kena semprot besar dari kalangan tetua di kampung saya yang sampai sekarang masih saya cintai. Di tengah hiruk pikuk pesta perkawinan yang meriah dan penuh dengan kilauan emas hasil pantulan parade emas-emas para aji-aji (suatu tradisi yg tdk tau dirintis sejak kapan), tiba-tiba kebahagiaan itu jadi terganggu sesaat oleh semprotan pedas dgn nada tinggi oleh seorang tetua terhadap anak kecil yang masih cadel hanya karena si anak memanggil tetua tersebut dgn sebutan ibu xx padahal menurut si tetua tadi seharusnya puang xx. Belum berapa menit kemudian tetua yg mengaku puang xx itu melabrak si anak cadel itu lagi (kasihan deh lo!), gara-gara kini dia menggunakan kata puang itu untuk memanggil seorang ibu yang menurut versinya ”biasa”. Nah lo. Kini anak cadel itu bingung. Setengah marah setengah menangis dia balik nanya apa bedanya antara dia dan ibu itu. Memangnya apa salahnya memanggil ibu ? Kalo salah manggil ibu terus memanggil dgn kata puang kenapa marah kalo ibu yang biasa tadi di panggil puang ? Yg mungkin kalo disimpulkan maksudnya apa bedanya ibu pertama dgn ibu kedua ? Bukannya di jawab, puang xx pun malah semakin marah bahkan menumpahkan kekesalannya kepada bpk si anak yang endingnya anak cadel itu di sidang di akhir acara oleh segenap keluarga besar. Tapi tak seorangpun dari bapak hingga tantenya yg mampu menjawab pertanyaan mengapa si ibu pertama harus dipanggil puang dan yg kedua tdk ? Mengapa dibedakan ? Dan segudang mengapa khas anak kecil lainnya, yang akhirnya berbuntut pada pertanyaan mendasar, mengapa manusia dibedakan sedangkan kata guru ngajinya manusia itu sama, yg membedakannya adalah akhlaknya ? Dan, seperti yg dpt diduga pertanyaan sederhana si anak cadel tak terjawab yang ada malah tambahan predikat pa’bali-bali pada dirinya. Satu yg membekas sampai sekarang pada diri anak itu kalo dlm lingkungannya terkadang tdpt sesuatu yg hrs dipatuhi saja tanpa hrs bertanya mengapa, yang setelah dia mulai sering membaca dan berdiskusi, ia tau itu adalah sebuah doktrin. Dan ia juga tau kalo model masyarakat feodal masih menggejala di tempatnya.
Lama waktu berputar terus, setelah ia dewasa banyak yg berubah. Ada yg mati, ada yg lahir, ada yg jadi dewasa dan ada yg jadi tua. Intinya ada perubahan. Dan ternyata begitu juga dalam kultur masyarakat kampungnya, ada yg berubah. Dulunya ibu yg waktu ia kecil tdk boleh dipanggil puang akhirnya dipanggil puang juga. Lucu. Dan lebih ironinya lagi yg memanggil puang adalah ibu pertama yang mengaku puang itu. Ada apa ? Ternyata standar istilah puang pun lapuk dimakan waktu dan harus tunduk di bawah kapitalisme. Jikalau dulunya penggunaan kata puang hanya untuk org-org tertentu yg diyakini dalam dirinya mengalir darah bangsawan, kini standarnya bukan itu lagi. Tapi seberapa besar dan banyak uang yang kita punya. Bahkan banyak puang-puang kemarin dianggap sebagai panggilan formalitas tanpa makna seperti sebelumnya hanya karena puangnya tdk berduit alias termasuk kaum dhuafa. Dan sebuah tata tradisi baru kembali dibangun.
Bukan saya tdk bangga jadi seorang bugis ato menyesal dijadikan to ogi’, tidak sama sekali. Karena baik saya, kamu, dia,kita dan kalian tdk pernah ketika masih di rahim bunda kita memilih untuk jadi to ogikah, atau to manre’ kah, atau to raja kah? Yang menentukan itu semuanya adalah Dia Yang Maha Menentukan. Jadi kalo kita tdk bisa memilih mengapa kita harus berbangga diri ketika jadi org bugis, ataukah sunda tea, ato batak. Lalu mengapa jika jadi org bugis kita harus membedakan memanggil seseorang ini yg puang dan itu yg bukan puang hanya dgn alasan di atas , padahal  di sisi lain istilah puang pun juga kita nisbahkan ke Puang Allah Ta’ala.
Tradisi dibangun atas kebiasaan. Tidak ada yg salah dgn panggilan puang karena penggilan itu sebenarnya kedengaran lebih sopan jika kita gunakan, yg salah adalah ketika kita membedakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar