Ada kebanggaan
tersendiri tentunya menyandang nama sebagai pemuda-pemudi Bugis ataukah
Makassar. Entah sudah berapa ratus kali saya mendengar kekaguman kawan-kawan
lintas suku akan keberanian kita (Bugis-Makassar) dalam menaklukkan laut,
hingga preman jalanan sekalipun. Dan janganlah heran, jikalau di tiap pulau di
seantero Nusantara ini bahkan di bumi tua ini terdapat kampung orang-orang yg
menjunjung tinggi siri ini. Tapi
apakah yg dapat dibanggakan ? Apakah sikap rewa
itu ? Ataukah org-org besar semacam Lamadukelleng hingga syekh yusuf yg namanya
mewangi senatero negeri hingga beberapa negara tetangga ?
Di balik
kebanggaan itu ada rasa kecewa yg dalam. Menengok lebih dalam ke komunitas
masyarakat kita yg ternyata masih bersifat fasis bukanlah hal yg patut
dibanggakan. Saya ingat di usia belia dulu (waktu masih cadel alias cocco’lilla)
saya pernah kena semprot besar dari kalangan tetua di kampung saya yang sampai
sekarang masih saya cintai. Di tengah hiruk pikuk pesta perkawinan yang meriah
dan penuh dengan kilauan emas hasil pantulan parade emas-emas para aji-aji
(suatu tradisi yg tdk tau dirintis sejak kapan), tiba-tiba kebahagiaan itu jadi
terganggu sesaat oleh semprotan pedas dgn nada tinggi oleh seorang tetua
terhadap anak kecil yang masih cadel hanya karena si anak memanggil tetua
tersebut dgn sebutan ibu xx padahal menurut si tetua tadi seharusnya puang xx.
Belum berapa menit kemudian tetua yg mengaku puang xx itu melabrak si anak
cadel itu lagi (kasihan deh lo!), gara-gara kini dia menggunakan kata puang itu
untuk memanggil seorang ibu yang menurut versinya ”biasa”. Nah lo. Kini anak
cadel itu bingung. Setengah marah setengah menangis dia balik nanya apa bedanya
antara dia dan ibu itu. Memangnya apa salahnya memanggil ibu ? Kalo salah
manggil ibu terus memanggil dgn kata puang kenapa marah kalo ibu yang biasa
tadi di panggil puang ? Yg mungkin kalo disimpulkan maksudnya apa bedanya ibu
pertama dgn ibu kedua ? Bukannya di jawab, puang xx pun malah semakin marah
bahkan menumpahkan kekesalannya kepada bpk si anak yang endingnya anak cadel
itu di sidang di akhir acara oleh segenap keluarga besar. Tapi tak seorangpun
dari bapak hingga tantenya yg mampu menjawab pertanyaan mengapa si ibu pertama
harus dipanggil puang dan yg kedua tdk ? Mengapa dibedakan ? Dan segudang
mengapa khas anak kecil lainnya, yang akhirnya berbuntut pada pertanyaan
mendasar, mengapa manusia dibedakan sedangkan kata guru ngajinya manusia itu
sama, yg membedakannya adalah akhlaknya ? Dan, seperti yg dpt diduga pertanyaan
sederhana si anak cadel tak terjawab yang ada malah tambahan predikat pa’bali-bali pada dirinya. Satu yg
membekas sampai sekarang pada diri anak itu kalo dlm lingkungannya terkadang
tdpt sesuatu yg hrs dipatuhi saja tanpa hrs bertanya mengapa, yang setelah dia mulai
sering membaca dan berdiskusi, ia tau itu adalah sebuah doktrin. Dan ia juga
tau kalo model masyarakat feodal masih menggejala di tempatnya.
Lama waktu
berputar terus, setelah ia dewasa banyak yg berubah. Ada yg mati, ada yg lahir,
ada yg jadi dewasa dan ada yg jadi tua. Intinya ada perubahan. Dan ternyata
begitu juga dalam kultur masyarakat kampungnya, ada yg berubah. Dulunya ibu yg
waktu ia kecil tdk boleh dipanggil puang akhirnya dipanggil puang juga. Lucu. Dan
lebih ironinya lagi yg memanggil puang adalah ibu pertama yang mengaku puang
itu. Ada apa ? Ternyata standar istilah puang pun lapuk dimakan waktu dan harus
tunduk di bawah kapitalisme. Jikalau dulunya penggunaan kata puang hanya untuk
org-org tertentu yg diyakini dalam dirinya mengalir darah bangsawan, kini
standarnya bukan itu lagi. Tapi seberapa besar dan banyak uang yang kita punya.
Bahkan banyak puang-puang kemarin dianggap sebagai panggilan formalitas tanpa
makna seperti sebelumnya hanya karena puangnya tdk berduit alias termasuk kaum
dhuafa. Dan sebuah tata tradisi baru kembali dibangun.
Bukan saya tdk
bangga jadi seorang bugis ato menyesal dijadikan to ogi’, tidak sama sekali.
Karena baik saya, kamu, dia,kita dan kalian tdk pernah ketika masih di rahim
bunda kita memilih untuk jadi to ogikah, atau to manre’ kah, atau to raja kah?
Yang menentukan itu semuanya adalah Dia Yang Maha Menentukan. Jadi kalo kita
tdk bisa memilih mengapa kita harus berbangga diri ketika jadi org bugis,
ataukah sunda tea, ato batak. Lalu mengapa jika jadi org bugis kita harus
membedakan memanggil seseorang ini yg puang dan itu yg bukan puang hanya dgn
alasan di atas , padahal di sisi lain
istilah puang pun juga kita nisbahkan ke Puang Allah Ta’ala.
Tradisi dibangun
atas kebiasaan. Tidak ada yg salah dgn panggilan puang karena penggilan itu
sebenarnya kedengaran lebih sopan jika kita gunakan, yg salah adalah ketika
kita membedakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar