Sabtu, 15 September 2012

RAJUTAN SEMIOTIKA SANG PANRITA BOLA “ARSITEK RUMAH BUGIS DI PINGGIR JAMAN”

Semiotika Arsitektur
Semiotika (semiotics) berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda. Konsep ini menolak pemahaman tunggal dari modernisme. Meskipun pada awalnya diterapkan hanya pada kajian bahasa, semiotika kemudian merambah beberapa kajian ilmu, termasuk arsitektur dan kemudian melahirkan sebuah pemahaman yang dikenal dengan sebutan semiotika asritektur. Pengenalan semiotika dengan dunia arsitektur sejak masa post-modern, dimana para arsitek mulai menyadari kesenjangan antara arsitek itu sendiri dengan masyarakt penghuni lingkungan, karena ketidakmampuan diantara keduanya untuk saling berkomunikasi lewat karya yang dibuat oleh arsitek. Ketidakpahaman masyarakat umum akan makna dari bangunan yang dibuat lebih dikarenakan dalam konteks masyarakat pluralis yang berkembang tiap tempat memiliki langgam arsitektur yang berbeda, tidak demikian halnya dengan arsitektur tradisional ataupun vernacular yang memiliki langgam arsitektur yang senada dan mampu dicerna oleh masyarakat setempat. Perkembangan semiotika arsitektur semakin menguat dengan berkembangnya pemahaman bahwa arsitektur adalah serangkaian tanda dan bahasa, dengan sebuah analogi bahwa unsur-unsur arsitektur dapat dimisalkan dengan unsur-unsur pembentuk bahasa, (jendela, pintu yang merupakan elemen arsitektur dianalogikan sebagai kata; gabungan elemen dalam arsitektur yang disebut ruang menjadi kalimat; kumpulan ruang dalam arsitektur yang dikenal sebagai bangunan disebut paragraph; dan sekumpulan bangunan yang merupakan lingkungan, dalam bahasa disebut wacana). Secara umum, semiotika arsitektur berusaha mengajak pembaca ataupun pengamat untuk berkomunikasi dengan bangunan yang dibuat oleh arsitek lewat bahasa yang dihadirkan lewat tanda baik berupa bentuk, warna, skala, dan harmoni.
Menurut id.wikipedia.org, arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut. Sementara arsitek sebagai pelakon dari dunia arsitektur adalah perancang, pembuat ataupun orang yang mendesain sesuatu. Arsitek sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu archi yang berarti kepala dan techton yang berarti tukang kayu. Awalnya profesi ini didapatkan dari pembelajaran secara langsung yang bersifat tradisional, kini profesi arsitek di dapatkan dari institusi legal formal. Namun, tidak banyak publik yang tahu, jika di Yunani istilah arsitek dikenalkan, di dalam lingkungan masyarakat bugis memiliki seorang panrita bola atau beberapa kelompok masyarakat menyebutnya sanro bola. Secara bahasa panrita berarti orang yang ahli atau benar-benar ahlinya. Secara istilah panrita berarti seseorang yang dapat melihat, bersaksi, menyimak atas suatu keadaan dan menyatakan keadaan tersebut dengan sebenarnya, melalui pengamatan yang objektif atas keadaan yang terjadi di sekitarnya, melalui pemberian kritikan dan nilai. Penyebutan gelar panrita ini tidak digunakan secara umum karena penilaian terhadap sosok tersebut sangatlah sacral dan juga dalam penempatannya hanya orang tertentu saja yang memiliki keahlian dan kelebihan, yang pantas memperoleh julukan tersebut
Rajutan Semiotika Panrita Bola
Orang bugis memandang rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi juga sebagai ruang pusat siklus kehidupan. Tempat manusia dilahirkan, dibesarkan, kawin, dan meninggal. Karena itu, membangun rumah haruslah didasarkan tradisi dan kepercayaan yang diwarisi secara turun temurun dari leluhur. Umumnya, orang bugis tinggal di rumah panggung dari kayu berbentuk segi empat panjang dengan tiang-tiang (aliri) vertikal dan pasak-pasak (pattolo) horizontal yang berfungsi memikul lantai dan atap. Konstruksi rumah dibuat secara lepas-pasang (knock down) sehingga bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Prosesnya tanpa gambar, dan proses bentuk dan bahannya juga sama dengan arsitektur tradisional di nusantara yang bersifat alam, yaitu disesuaikan dengan kondisi geografi, karakter masyarakat dan bahan-bahannya juga diambil dari alam di sekitarnya, sehingga terdapat sinergi di antara alam, rumah, dan penghuninya. Bedanya, pada masyarakat bugis, pembangunan rumah dilaksanakan oleh panrita bola dan panre bola, dimana Panrita bola menangani hal-hal yang bersifat spiritual, adat dan kepercayaan sedang panre bola mengerjakan hal-hal bersifat teknis yaitu mengolah bahan kayu menjadi komponen struktur sampai rumah berdiri dan siap dihuni.
Bahasa tanda yang dihadirkan oleh seorang panrita bola kental dengan filosofi kehidupan. Pola tata ruang, tata bangunan hingga konsep waktu saling bersinergi satu diantara yang lainnya membentuk sebuah bahasa harmoni; manusia dan penciptanya, manusia dengan alamnya, manusia dengan sesamanya, manusia dengan dirinya sendiri. Dalam khasanah bugis, bentuk dan model sebuah rumah mewakili sesuatu bentuk kasar yaitu bentuk rupa, atau dalam diri manusia disamakan dengan tubuh atau raga, sementara bentuk halus (intangible) pada rumah  yang merupakan jiwa dari rumah itu dibahasakan oleh seseorang yang khusus untuk ditransformasikan dalam bentuk oleh seorang panrita bola. Itulah sebabnya, kini profesi ini di kalangan masyarakat bugis menjadi langka, bukan hanya karena ilmunya yang bersifat tidak teraba tapi juga karena sifatnya yang diwariskan atau turun-temurun ditambah lagi hilangnya minat dan perhatian dari generasi bugis sendiri.
Sebagai arsitek, seorang panrita  bekerja mulai dari tahapan desain rumah hingga purnahuni. Pekerjaan membuat rumah biasanya dimulai dengan membuat posi bola atau possi bola (pusar rumah). Peran panrita bola dalam hal ini adalah yang menentukan posisi possi bola. Possi bola  adalah sebuah tiang yang dianggap sebagai simbol 'perempuan', atau simbol ibu yang mengendalikan kehidupan di dalam rumah. Possi bola ini dimaknai sebagai  titik pusat kekuatan sekaligus titik kelemahan suatu bangunan rumah.
Secara umum, dari segi bentuk, sama dengan beberapa bentuk rumah tradisional lainnya, bentuk rumah bugis mewakili pembagian dunia dalam 3 bagian. Bagian di atas adalah kepala,  berperan sebagai atap dan merupakan perwujudan dunia atas yang mewakili kesucian, biasanya dijadikan tempat menyimpan hasil panen dan benda pusaka (rakkeang). Pada bagian ini, terdapat elemen timpa laja yang merupakan bahasa posisi kasta pemilik rumah. Bagian tengah adalah badan sebagai dunia tengah yang merupakan tempat siklus aktifitas manusia (alo bola atau alle bola). Pada bagian ini tiap siklus manusia mulai dari lahir, kawin hingga mati memiliki ruang, itulah sebabnya pada alo bola selalu terdapat ruang melahirkan, ruang tempat pengantin hingga ruang tempat memandikan mayat (biasanya ruangan ini tidak bersekat dan hanya ditandai pada struktur lantai). Bagian bawah adalah kaki sebagai dunia bawah (kolong atau awaso) terletak di bagian bawah lantai rumah dan biasanya dijadikan tempat ternak.
Dari  segi penataan ruang, juga terbagi atas 3 bagian: lontang risaliweng yang bersifat semi privat dan berfungsi tempat menerima tamu; lontang ritengnga yang bersifat privat dan merupakan ruang keluarga, ruang melahirkan, tempat pengantin disandingkan di pelaminan, tempat memandikan mayat dan ruang tidur keluarga; dan terakhir adalah lontang rilaleng yang bersifat sangat privat karena merupakan tempat tidur anak gadis juga nenek/kakek. Dari segi elemen hias, penggunaan terali pada jendela juga mengisyaratkan posisi kasta seseorang, jika jumlah terali 7-9 menandakan kastanya adalah bangsawan, sementara jumlah 3-5 menandakan rakyat biasa. Sementara penggunaan elemen ukiran hiasan kebanyakan menggunakan bunga parengreng yang merupakan simbol rezeki yang tidak terputus. Untuk elemen ukiran pada bubungan atap biasanya menggunakan salah satu bubungan dengan ragam ayam jantan (manuk) yang melambangkan keberanian, atau kerbau yang melambangkan kekayaan dan naga yang melambangkan kekuatan.
Tak dapat dipungkiri, sebuah rangkaian komunikasi yang dihadirkan dalam rumah tradisional bugis mengajak kita untuk merenungi sebuah pepatah sederhana “tak kenal maka tak sayang, dan tak sayang maka tak cinta”, dan dalam rangka pengenalan itu, sebuah komunikasi adalah media efektif untuk keduanya saling memahami. Memahami bahasa tanda pada sebuah rumah bugis, mengajar kita untuk memahami sebuah dunia kosmologi bugis yang penuh harmoni, sebuah rumah yang bukan hanya adalah istana ataupun surga tapi juga adalah saksi dari sebuah siklus hidup manusia bugis.


NB.
- Tulisan ini dimuat di rubrik opini koran harian Tribun Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar