Semiotika Arsitektur
Semiotika (semiotics)
berasal dari bahasa Yunani semeion
yang berarti tanda. Konsep ini menolak pemahaman tunggal dari modernisme.
Meskipun pada awalnya diterapkan hanya pada kajian bahasa, semiotika kemudian
merambah beberapa kajian ilmu, termasuk arsitektur dan kemudian melahirkan
sebuah pemahaman yang dikenal dengan sebutan semiotika asritektur. Pengenalan
semiotika dengan dunia arsitektur sejak masa post-modern, dimana para arsitek
mulai menyadari kesenjangan antara arsitek itu sendiri dengan masyarakt
penghuni lingkungan, karena ketidakmampuan diantara keduanya untuk saling
berkomunikasi lewat karya yang dibuat oleh arsitek. Ketidakpahaman masyarakat
umum akan makna dari bangunan yang dibuat lebih dikarenakan dalam konteks
masyarakat pluralis yang berkembang tiap tempat memiliki langgam arsitektur
yang berbeda, tidak demikian halnya dengan arsitektur tradisional ataupun
vernacular yang memiliki langgam arsitektur yang senada dan mampu dicerna oleh
masyarakat setempat. Perkembangan semiotika arsitektur semakin menguat dengan
berkembangnya pemahaman bahwa arsitektur adalah serangkaian tanda dan bahasa,
dengan sebuah analogi bahwa unsur-unsur arsitektur dapat dimisalkan dengan
unsur-unsur pembentuk bahasa, (jendela, pintu yang merupakan elemen arsitektur
dianalogikan sebagai kata; gabungan elemen dalam arsitektur yang disebut ruang menjadi
kalimat; kumpulan ruang dalam arsitektur yang dikenal sebagai bangunan disebut
paragraph; dan sekumpulan bangunan yang merupakan lingkungan, dalam bahasa
disebut wacana). Secara umum, semiotika arsitektur berusaha mengajak pembaca
ataupun pengamat untuk berkomunikasi dengan bangunan yang dibuat oleh arsitek
lewat bahasa yang dihadirkan lewat tanda baik berupa bentuk, warna, skala, dan
harmoni.
Menurut id.wikipedia.org, arsitektur adalah seni dan
ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur
mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari
level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap,
hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk.
Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.
Sementara arsitek sebagai pelakon dari dunia arsitektur adalah perancang,
pembuat ataupun orang yang mendesain sesuatu. Arsitek sendiri berasal dari
bahasa Yunani, yaitu archi yang
berarti kepala dan techton yang
berarti tukang kayu. Awalnya profesi ini didapatkan dari pembelajaran secara
langsung yang bersifat tradisional, kini profesi arsitek di dapatkan dari
institusi legal formal. Namun, tidak banyak publik yang tahu, jika di Yunani
istilah arsitek dikenalkan, di dalam lingkungan masyarakat bugis memiliki
seorang panrita bola atau beberapa
kelompok masyarakat menyebutnya sanro
bola. Secara bahasa panrita berarti
orang yang ahli atau benar-benar ahlinya. Secara istilah panrita berarti seseorang yang dapat melihat, bersaksi, menyimak
atas suatu keadaan dan menyatakan keadaan tersebut dengan sebenarnya, melalui
pengamatan yang objektif atas keadaan yang terjadi di sekitarnya, melalui
pemberian kritikan dan nilai. Penyebutan gelar panrita ini tidak digunakan secara umum karena penilaian terhadap sosok
tersebut sangatlah sacral dan juga dalam penempatannya hanya orang tertentu
saja yang memiliki keahlian dan kelebihan, yang pantas memperoleh julukan
tersebut
Rajutan Semiotika
Panrita Bola
Orang bugis memandang rumah tidak hanya sekedar
tempat tinggal tetapi juga sebagai ruang pusat siklus kehidupan. Tempat manusia
dilahirkan, dibesarkan, kawin, dan meninggal. Karena itu, membangun rumah
haruslah didasarkan tradisi dan kepercayaan yang diwarisi secara turun temurun
dari leluhur. Umumnya, orang bugis tinggal di rumah panggung dari kayu
berbentuk segi empat panjang dengan tiang-tiang (aliri) vertikal dan pasak-pasak (pattolo) horizontal yang berfungsi memikul lantai dan atap.
Konstruksi rumah dibuat secara lepas-pasang (knock down) sehingga bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat
lain. Prosesnya tanpa gambar, dan proses bentuk dan bahannya juga sama dengan
arsitektur tradisional di nusantara yang bersifat alam, yaitu disesuaikan
dengan kondisi geografi, karakter masyarakat dan bahan-bahannya juga diambil
dari alam di sekitarnya, sehingga terdapat sinergi di antara alam, rumah, dan
penghuninya. Bedanya, pada masyarakat bugis, pembangunan rumah dilaksanakan oleh
panrita bola dan panre bola, dimana Panrita bola
menangani hal-hal yang bersifat spiritual, adat dan kepercayaan sedang panre bola mengerjakan hal-hal bersifat
teknis yaitu mengolah bahan kayu menjadi komponen struktur sampai rumah berdiri
dan siap dihuni.
Bahasa tanda yang dihadirkan oleh seorang panrita bola kental dengan filosofi
kehidupan. Pola tata ruang, tata bangunan hingga konsep waktu saling bersinergi
satu diantara yang lainnya membentuk sebuah bahasa harmoni; manusia dan
penciptanya, manusia dengan alamnya, manusia dengan sesamanya, manusia dengan
dirinya sendiri. Dalam khasanah bugis, bentuk dan model sebuah rumah mewakili
sesuatu bentuk kasar yaitu bentuk rupa, atau dalam diri manusia disamakan
dengan tubuh atau raga, sementara bentuk halus (intangible) pada rumah yang
merupakan jiwa dari rumah itu dibahasakan oleh seseorang yang khusus untuk
ditransformasikan dalam bentuk oleh seorang panrita
bola. Itulah sebabnya, kini profesi ini di kalangan masyarakat bugis
menjadi langka, bukan hanya karena ilmunya yang bersifat tidak teraba tapi juga
karena sifatnya yang diwariskan atau turun-temurun ditambah lagi hilangnya
minat dan perhatian dari generasi bugis sendiri.
Sebagai arsitek, seorang panrita bekerja mulai dari
tahapan desain rumah hingga purnahuni. Pekerjaan membuat rumah biasanya dimulai
dengan membuat posi bola atau possi bola (pusar rumah). Peran panrita bola dalam hal ini adalah yang
menentukan posisi possi bola. Possi bola adalah sebuah tiang yang dianggap sebagai
simbol 'perempuan', atau simbol ibu yang mengendalikan kehidupan di dalam rumah.
Possi bola ini dimaknai sebagai titik pusat kekuatan sekaligus titik
kelemahan suatu bangunan rumah.
Secara umum, dari segi bentuk, sama dengan beberapa
bentuk rumah tradisional lainnya, bentuk rumah bugis mewakili pembagian dunia
dalam 3 bagian. Bagian di atas adalah kepala, berperan sebagai atap dan merupakan perwujudan
dunia atas yang mewakili kesucian, biasanya dijadikan tempat menyimpan hasil
panen dan benda pusaka (rakkeang). Pada
bagian ini, terdapat elemen timpa laja
yang merupakan bahasa posisi kasta pemilik rumah. Bagian tengah adalah badan
sebagai dunia tengah yang merupakan tempat siklus aktifitas manusia (alo bola atau alle bola). Pada bagian ini tiap siklus manusia mulai dari lahir,
kawin hingga mati memiliki ruang, itulah sebabnya pada alo bola selalu terdapat ruang melahirkan, ruang tempat pengantin
hingga ruang tempat memandikan mayat (biasanya ruangan ini tidak bersekat dan
hanya ditandai pada struktur lantai). Bagian bawah adalah kaki sebagai dunia
bawah (kolong atau awaso) terletak di bagian bawah lantai
rumah dan biasanya dijadikan tempat ternak.
Dari segi
penataan ruang, juga terbagi atas 3 bagian: lontang
risaliweng yang bersifat semi privat dan berfungsi tempat menerima tamu; lontang ritengnga yang bersifat privat
dan merupakan ruang keluarga, ruang melahirkan, tempat pengantin disandingkan
di pelaminan, tempat memandikan mayat dan ruang tidur keluarga; dan terakhir
adalah lontang rilaleng yang bersifat
sangat privat karena merupakan tempat tidur anak gadis juga nenek/kakek. Dari
segi elemen hias, penggunaan terali pada jendela juga mengisyaratkan posisi
kasta seseorang, jika jumlah terali 7-9 menandakan kastanya adalah bangsawan,
sementara jumlah 3-5 menandakan rakyat biasa. Sementara penggunaan elemen
ukiran hiasan kebanyakan menggunakan bunga parengreng
yang merupakan simbol rezeki yang tidak terputus. Untuk elemen ukiran pada
bubungan atap biasanya menggunakan salah satu bubungan dengan ragam ayam jantan
(manuk) yang melambangkan keberanian,
atau kerbau yang melambangkan kekayaan dan naga yang melambangkan kekuatan.
Tak dapat dipungkiri, sebuah rangkaian komunikasi
yang dihadirkan dalam rumah tradisional bugis mengajak kita untuk merenungi
sebuah pepatah sederhana “tak kenal maka tak sayang, dan tak sayang maka tak
cinta”, dan dalam rangka pengenalan itu, sebuah komunikasi adalah media efektif
untuk keduanya saling memahami. Memahami bahasa tanda pada sebuah rumah bugis,
mengajar kita untuk memahami sebuah dunia kosmologi bugis yang penuh harmoni,
sebuah rumah yang bukan hanya adalah istana ataupun surga tapi juga adalah
saksi dari sebuah siklus hidup manusia bugis.
NB.
- Tulisan ini dimuat di rubrik opini koran harian Tribun Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar